Sabtu, 08 Oktober 2011

Dilema Demokratisasi Ala Indonesia




HARAPAN RAKYAT MENURUN DISAAT HARAPAN ELIT MENINGKAT


“ Menakar Kembali Substansi Pelaksanaan Demokratisasi Politik di Indonesia
Melalui Pelaksanaan Sarasehan oleh KPU Kabupaten Nias untuk Meningkatkan Partisipasi Pemilih di Dalam setiap Proses Pemilihan Umum Nasional dan Daerah “


Pada saat ini, para penyelenggara Pemilu di berbagai tingkatan di Indonesia dilanda ketidakpuasan oleh karena jumlah partisipasi pemilih dalam beberapa proses pemilihan umum yang berlangsung di tingkat Nasional, menunjukkan indikator angka partisipasi pemilih yang terus menurun.

Terkait dengan permasalahan tersebut, berbagai solusi yang ditawarkan diantaranya adalah mengenai pentingnya pelaksanaan pendidikan politik guna peningkatan kesadaran rakyat terkait kegiatan politik tersebut.

Di setiap momentum pemilihan umum baik di tingkat Nasional maupun di tingkat Daerah, pelaksanaan pendidikan politik sudah dapat disiasati oleh penyelenggara PILKADA walaupun dengan waktu yang tergesa-gesa, kemampuan dan penerima dampak sangat terbatas. Persoalan nyata yang menjadi momok disetiap pertarungan politik adalah persoalan money politik. Unsur Money Politics menjadi pembicaraan hangat dan bahkan dibeberapa tempat, permainan ini seolah sudah dihalalkan atau diwajarkan oleh karenanya malahan dinantikan sentuhannya oleh para konstituen yang dengan sengaja tidak tidur di malam menjelang hari pemilihan. Sudah menjadi trend politi, bahwa untuk bertarung dikancah perpoliitikan, persoalan ada atau tidak ada uang telah dianggap sebagai indikator penentu utama dalam pemenangan setiap kandidat.

Tulisan ini mengingatkan saya terhadap paparan Turunan Gulo,SP, MSP anggota KPU Sumatera Utara pada saat kegiatan sarasehan yang dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Nias pada tanggal 5 Oktober 2011 di Gunungsitoli, dimana dalam kegiatan tersebut, turut tampil juga sebagai nara sumber utama adalah Profesor Taliziduhu Ndraha.

Dalam paparan yang disampaikan oleh Bung Turunan terkait dengan semakin menurunnya tingkat partipasi pemilih, disampaikannya bahwa masih perlu perbaikan kinerja para pejabat dan penguatan Partai Politik. Kemudian lebih lanjut, disebutkannya bahwa pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945 termuat bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945.

Paparan tersebut telah menyontakkan saya sebagai salah satu utusan dari Forum Peduli Tano Niha (FORNIHA) yang kebetulan sebelumnya adalah merupakan koordinator pemantau pelaksanaan PEMILUKADA di 4 Daerah Kepulauan Nias, bahwa dalam konteks pertama terkait perlunya peningkatan kinerja pejabat dan penguatan Partai Politik, menurut saya hal ini bagus untuk dilaksanakan, hanya saja belum bisa menjadi solusi menyembuhkan sepenuhnya, karena sepertinya obat tersebut hanya sebatas membius sementara agar prosesnya dapat mengurangi rasa sakit. Pertanyaannya “Mungkinkah kita berharap terhadap para politisi di senayan ini untuk berkinerja lebih baik atau melaksanakan tugas mulia guna pembangunan Indonesia, dimana saat proses naiknya menjadi anggota DPR RI saja sudah menempuh segala cara untuk mengalahkan saingannya ?”. Bukan rahasia lagi bahwa, angka miliaran rupiah menjadi taruhan nilai mahalnya kursi jabatan, agar bisa duduk disenayan. Banyak diantaranya bahwam disaat tidak menjadi politisi saja, belum ada sifat atau tindakan ke-negarawan-an yang dapat dilihat dari sosok tersebut, oleh karenanya tidak heran begitu naik, para pemenang ini akan mejadi bajak laut untuk mengeruk semua kesempatan yang ada guna mencapai kenyamanan, keamanan dan kelanggengan posisi agar ditahun depan bisa tampil kembali. Hal ini disampaikan bukan bermaksud subjektif, tetapi bisa dihitung berapa orang yang sudah divonis penjara atau bersalah oleh karena KKN pada saat menjabat menjadi anggota DPR RI di senayan ? atau barangkali bisa di survei, tentang bagaimana tingkat kepercayaan publik terhadap siapa yang telah dipilihnya pada saat pemilihan legislatif, adakah relevansinya dengan kehidupan yang sedang mereka jalani saat ini ?

Terkait masukan dari Bung Turunan Gulo, perihal adanya peluang untuk orang Nias menduduki kursi DPR RI di senayan hingga sekurangnya tiga orang, adalah merupakan ide yang sangat bagus, mengingat jumlah pemilih di Kepulauan Nias sudah mencapai angka 481.168 orang pada waktu Pemilu 2009, sedangkan kursi yang tersedia ada sekitar 7 kursi , khusus untuk daerah pemilihan SUMUT II dimana jumlah rata-rata suara yang terpilih menjadi anggota DPR RI di Senayan tersebut masih berada pada kisaran angka puluhan ribu.

Dalam konteks kedua, kedaulatan ditangan rakyat tidak pernah terjadi. Kedaulatan yang sebenarnya terjadi adalah ada ditangan Partai Politik. Dalam kasus ini, sistem pemilihan yang dilaksanakan memberikan kesan bahwa kekuasaan rakyat hanya sebatas pada saat memilih atau pada saat memberikan suaranya, selanjutnya setelah pemilihan hak rakyat tersebut telah dikebiri atau di kuasai oleh Partai Politik. Rakyat sebagai pemilih atau konstituen hanya sebagai kaperlek atau kapan perlu lekas pakai setelahnya diabaikan. Mengenai hal ini, Profesor Taliziduhu Ndraha hingga mengatakan bahwa warung makan padang masih lebih menepati janji atau lebih bijaksana dari pada seorang pejabat yang telah dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan langsung di Indonesia. Pameo di warung makan padang tertulis sebagai berikut “ Kalau Anda Puas, Silahkan Beritahukan Teman dan Jika Anda Kecewa Sampaikan Kepada Kami”. Pertanyaanya, mungkinkah seorang pejabat yang dipilih oleh proses Pemilihan Umum memiliki komitmen janji seperti tersebut diatas ?, Adakah juga para pejabat tersebut, yang siap pasang badan dan menerima kritikan, jikalau masyarakat kecewa terhadapnya ?. Sementara proses tersebut terus berlangsung dan berkelanjutan, Partai Politik tidak bersikap dan bertindak NIHIL. Harapan rakyat terhadap Partai Politik yang logonya mereka pakai dan lekatkan di baju mereka melalui kaos partai politik pada saat pemilihan berlangsung, “PUPUS secara berulang-ulang alias Knock Out atau KO, terutama begitu Proses Pemilihan telah usai. Mengenai hal ini, saking fanatiknya bahkan peletakkan simbol Partai terkadang bukan hanya di kaos kampanye bisa juga dimodif dan digambar di kepala orang dan dibentuk sedemikan rupa hingga serupa seperti mahkota manusia.

Proses perubahan peta kekuasaan yang berulang-ulang terjadi, dirasakan dan diketahui namun konstituen selalu tertipu oleh karena pejabat yang terpilih hanya meninggalkan kata “sayonara” dan pejabat tersebut muncul kembali hanya pada saat Pemilihan berikutnya. Gambaran yang terjadi adalah ibarat sebuah piramida segitiga sama sisi, dimana pada saat belum terjadi pemilihan maka dipuncak teratas piramida adalah rakyat atau konstituen dan di dua sudut bagian bawahnya sebagai penopang sejajar adalah Partai Politik dan Pemerintah. Pasca pemilihan terjadi, secepat kilat, piramida berbentuk sama sisi dengan tiga sudut penting tersebut, berubah posisi menjadi terbalik dimana yang tadinya posisi rakyat di atas, kini pasca proses pemilihan, posisi Partai Politik bersama Pemerintah menempati letak tertinggi dan sebaliknya posisi rakyat atau konstituen telah terjungkalkan, yaitu terletak dibagian bawah piramida dengan tanpa daya dan tanpa mitra dengan bentuk meruncing ke bawah. Kondisi Pemerintah juga dilema oleh karena, dengan sistem tersebut, Kepala Daerah terpilih harus bermitra strategis untuk berbagi kekuasaan dengan Partai Politik. Posisi peta kekuasaan tersebut sangat permanen dan berlangsung secara berulang-ulang, hingga pemilihan berikutnya dilaksanakan yang biasanya selalu diawali dengan peninjauan kembali Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu. Satu yang pasti adalah bahwa proses lima tahunan yang telah dilaksanakan berulang-ulang tersebut selalu memberikan dampak kekecewaan dan kepesimisan rakyat terhadap dampak manfaat proses demokratisasi politik yang dianut. Dampak kekecewaan kaum rakyat ini, bisa dipastikan akan berkontribusi terhadap tingginya angka GOLPUT dan barangkali sebagai alasan bermunculannya isu tolak Pemilu atau Pilkada. Tidak tertutup kemungkinan hal ini dapat juga menjadi alasan kemunculan kaum ekstrimis yang sudah apatis terhadap terjadinya perubahan. Secara umum para ekstrimis ini sering dikelompokkan sebagai terorist atau bahkan sebagai kelompok separatis bersenjata yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Penulis menyadari bahwa theori Ilmu Pemerintahan yang disampaikan oleh Pak Profesor Ndraha belum dilaksanakan dengan baik oleh para praktisi pemerintahan atau politisi di Republik ini. Sistem yang telah dibuat pada zaman orde baru masih diterapkan hingga kini. Sistem Politik telah dirancang lebih halus, dengan catatatan tetap meng-oligarkhikan Partai Politik, Menyamankan, Mengamankan dan Melanggengkan Para Pejabat yang terpilih sebagai produk Pemilu. Sistem ini berkontribusi secara praktis terhadap proses money politik yang terjadi disetiap berlangsungnya pemilihan, sebagai bagian dari budaya menghalalkan cara, yang telah diadopsi sebagai budaya politik indonesia yakni dari penguasa, oleh penguasa dan untuk kekuasaan. Secara tidak langsung, proses yang didukung oleh perundang-undangan dan peraturan yang telah secara sistemik tersusun ini, terbukti telah mampu membuyarkan mimpi para pejuang, para aktivist dan para pegiat demokrasi, mereka para pemikir kemaslahatan bangsa dalam artian yang sebenarnya untuk dapat tembus di dalam ruang senayan guna tampil sebagai kader bangsa, sebagai pemimpin untuk mengambil keputusan penting, yang berguna untuk rakyat indonesia. Terlebih lagi bagi para kaum muda yang tergolong miskin, dan telah termarginalkan secara turun temurun, berpikir atau bermimpi saja pun mengenai jabatan tersebut pasti dilarang oleh orang tuanya karena dipercaya bahwa jabatan tersebut hanya dapat diraih melalui mukjizat.

Profesor Taliziduhu Ndraha, yang juga sebagai dosen bidang ilmu pemerintahan di IPDN telah menegaskan didalam kegiatan sarasehan yang dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Nias di wisma soliga, Gunungsitoli bahwa proses pemilihan umum seharusnya tidak berubah menjadi area Pemenangan seolah proses yang berlangsung adalah sebuah proses hukum rimba, namun sebaliknya harus menjadi area Keterpilihan. Sehingga Pejabat yang terpilih bukan sebagai pemenang, melainkan sebagai orang yang terpilih untuk menjalankan amanat rakyat.

Lantas bagaimana dengan para Pejabat terpilih di Kepulauan Nias ?, tentunya menjadi bagian di dalam sistem tersebut. Bagaimana di dalam praktisnya ? ya, disurvey saja maka mayoritas masyarakat pasti kecewa dengan yang telah dipilihnya. Namun, masyarakat mau bilang apa, wong ndak punya kekuatan, habis sepah ya dibuang. Kekuatan Partai Politik yang berjalan strategis dengan Pemerintah yang berkuasa dapat memaksakan kehendak kepada para pimpinan di suatu daerah agar menjadi pengikut Partai Politik yang berkuasa, kalau tidak ya pasti susah. Konsep Lima Satu Nias Maju seperti yang telah disampaikan Pak Profesor Ndraha, pelaksanaanya sudah pasti tidak akan terlepas dari pengaruh Partai Politik yang mencengkram kuat dari pusat. Namun konsep tersebut bisa terwujud jika para Pemimpin dan para birokrat pemerintahan yang bekerja di kepulauan Nias mempunyai rasa memiliki dan rasa tanggung jawab serta dapat tetap mengedepankan kepentingan umum “Res Publica” dibandingkan dengan kepentingan pribadi.

Sebagai sebuah pembelajaran bersama, bahwa terkait Ilmu Pemerintahan dalam perspektif kybernologi yang telah disampaikan oleh profesor Taliziduhu Ndraha, sistem perpolitikan di indonesia masih melangsungkan budaya politik pemenangan yang erat kaitannya dengan hukum rimba politik. dimana budaya pemenangan ini telah melahirkan budaya primitif baru disektor politik dan pemerintahan. Jika tidak disadari dan tidak segera dirubah maka, budaya politik primitif tersebut akan semakin menguat hingga terjadinya kanibalistik politik dimana jabatan menjadi segalanya dan segala cara menjadi HALAL untuk mencapainya, sementara itu uang atau rupiah menjadi TUHAN bagi setiap Pemilih. Menurut Penulis, sistem demokrasi yang terjadi, telah secara sistemik mengkondisikan kaum rakyat atau pemilih dihadapkan pada sebuah kondisi yang sulit, ibarat buah simalakama yang akhirnya Pemilih harus mengambilnya walaupun mengorbankan Nurani-nya. Kebutuhan Ekonomi yang sangat mendesak, para Pemilih ibarat berada di jaman kemerdekaan dengan semboyan HIDOEP jika ambil rupiahnya, atau akan beroleh MATI, jika tidak mengambil rupiah yang ditawarkan tersebut. Prinsip HIDOEP atau MATI dijaman politik yang kanibalistik ini telah sangat jelas dan praktis adalah mengeksploitasi kemeralatan atau kemiskinan rakyat yang terjadi.

Meningkatkan partisipasi pemilih di dalam proses pemilihan yang berlangsung menjadi harapan yang kosong semata, selama sistem perundang-undangan tidak secara tegas mendukung hal tersebut, yang seharusnya memakai kata HARUS bagi Partai Politik untuk melaksanakan Pendidikan Politik dan seharusnya perundang-undangan yang dibuat juga dapat memfasilitasi keadilan bargaining position untuk konstituen agar dapat menuntut KATA DAN LAKU sebagaimana yang telah dijanjikan oleh elit politik yang telah terpilih, karena para Pemilih telah mempercayakan suara mereka kepada Pejabat tersebut. Lebih parahnya, saat ini terdapat kecurigaan bahwa jangan-jangan semua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Penyelenggara KPU dan Semua sistem yang sedang berlangsung dalam proses pemilihan adalah sudah secara sistemik disusun sedemikan rupa agar tetap menyamankan, mengamankan dan melanggengkan para Pejabat yang terpilih untuk dapat secara permanen duduk dikekuasaan hingga akhir hayatnya. Jikalau demikian, bukankah kegiatan peningkatan partisipasi pemilih menjadi kegiatan pragmatis belaka, ketika akar persoalan sebenarnya tidak terobati ????. Namun dibalik itu semua, Penulis mengapresiasi kegiatan tersebut, karena setidaknya, isu peningkatan partisipasi pemilih oleh KPU Kabupaten Nias tersebut, telah mengingatkan Kita untuk segera sadar dan bangkit agar tidak dininabobokan oleh sistem yang telah dibuat. Penulis menyadari, bahwa masih banyak persoalan mendasar yang belum teratasi dan belum terobati secara TUNTAS di dalam sistem demokrasi di Indonesia yang seolah-olah sudah substansial namun sebenarnya hanya sebatas prosedural semata.

Penulis,
Yanuarman Gulo
(Staf Program Forum Peduli Tano Niha-FORNIHA)
Gunungsitoli, 5 Oktober 2011.

Tidak ada komentar: