Sabtu, 05 Februari 2011

KLINIK FOTOGRAFI

FOTO JURNALISTIK MEMOTRET DAN MENGKLARIFIKASI

FOTO-FOTO: YANUARMAN GULO
TIPS & CATATAN
(Dimuat di Kompas Halaman 36 Pada Hari Selasa, 1 Februari 2011. Thanks To Arbain Rambey/Penulis/Fotografer Ternama Indonesia)














Foto Jurnalistik Memotret dan Mengklarifikasi


ARBAIN RAMBEY
Pertanyaan yang selalu muncul dalam dunia jurnalistik: ”menolong dulu atau memotret dulu”? Juga: ”etiskah memberitakan penderitaan orang lain”? Kedua pertanyaan itu sangat tepat untuk menjadi ilustrasi dasar rangkaian foto karya Yanuarman Gulo yang direkam pada 15 Januari 2011 di halaman RSUD Gunungsitoli, Nias, di halaman ini.

Foto-foto itu adalah hasil workshop foto jurnalistik yang diadakan Posko Delasiga bersama Gambara Nias Bangkit bagi wartawan lokal Nias awal Januari lalu.
Rangkaian foto-foto itu sungguh pahit. Tergambar jelas bagaimana seorang penderita rabies merangkak, berusaha masuk ke RSUD Gunungsitoli, tak berdaya, dan akhirnya meninggal dunia dengan cara tragis.

Sekilas, foto-foto itu ”menuduh” RSUD Gunungsitoli yang seakan acuh tak acuh terhadap nasib seorang penderita rabies. Dalam beberapa gambar terlihat ketidakpedulian beberapa orang yang berseragam perawat.

Namun, jurnalistik adalah dunia seimbang. Dia tidak boleh larut semata pada apa yang dilihat. Dunia jurnalistik adalah dunia yang adil dan tidak memihak mana pun.

Maka, untuk mengantar foto-foto tersebut, tentu perlu diminta komentar dari pihak RSUD Gunungsitoli. Hasil paparan Dr Kanserina Dachi, SpPD sungguh mengejutkan.

Menurut Kanserina, pria (yang kami simpan identitasnya) itu adalah pasien rabies RSUD Gunungsitoli yang cukup sulit untuk ditangani. ”Dia beberapa kali meronta-ronta dan menolak diinfus. Kemudian dia juga melarikan diri dari rumah sakit. Saat akan kembali lagi, itulah yang terekam dalam foto,” kata Kanserina.

Kanserina juga memaparkan cukup tingginya kejadian penyakit rabies di Nias.
Namun, paparan Dr Ria Novida Telaumbanua, MKes makin menunjukkan bahwa ada hal lebih serius untuk dicermati bersama. Menurut Ria, harga serum rabies untuk satu orang, dalam beberapa kali penyuntikan, sekitar Rp 1,5 juta. ”Dan saat ini serum rabies cukup langka di Nias ini,” katanya.

Rangkaian foto di halaman ini, ditambah paparan kedua dokter, mengingatkan kita bahwa perlu ada penanganan lebih jauh untuk mengatasi masalah rabies, tidak cuma di Nias, bahkan mungkin di berbagai pelosok Indonesia.

Posko Delasiga memang sudah menyumbangkan beberapa kardus serum rabies pada akhir Januari lalu. Namun, perhatian lebih dari pemerintah memang sangat diperlukan.
Kembali ke alinea pertama tulisan ini, sang fotografer memang tidak bisa menolong sang korban rabbies karena memang dia tak punya kemampuan untuk itu. Sang fotografer justru menolong masyarakat luas untuk kepedulian pada penyakit rabbies.

Lalu, apakah etis memotret penderiteraan orang ? Demi hal yang lebih baik bagi banyak orang, jawabannya adalah iya. Potret bencana alam atau pun kerusuhan adalah penderitaan juga. Kalau tak ada yang memotretnya, ia akan terkubur tanpa sejarah!

Copyright © 2011 Kompas Digital