Sabtu, 08 Oktober 2011

Dilema Demokratisasi Ala Indonesia




HARAPAN RAKYAT MENURUN DISAAT HARAPAN ELIT MENINGKAT


“ Menakar Kembali Substansi Pelaksanaan Demokratisasi Politik di Indonesia
Melalui Pelaksanaan Sarasehan oleh KPU Kabupaten Nias untuk Meningkatkan Partisipasi Pemilih di Dalam setiap Proses Pemilihan Umum Nasional dan Daerah “


Pada saat ini, para penyelenggara Pemilu di berbagai tingkatan di Indonesia dilanda ketidakpuasan oleh karena jumlah partisipasi pemilih dalam beberapa proses pemilihan umum yang berlangsung di tingkat Nasional, menunjukkan indikator angka partisipasi pemilih yang terus menurun.

Terkait dengan permasalahan tersebut, berbagai solusi yang ditawarkan diantaranya adalah mengenai pentingnya pelaksanaan pendidikan politik guna peningkatan kesadaran rakyat terkait kegiatan politik tersebut.

Di setiap momentum pemilihan umum baik di tingkat Nasional maupun di tingkat Daerah, pelaksanaan pendidikan politik sudah dapat disiasati oleh penyelenggara PILKADA walaupun dengan waktu yang tergesa-gesa, kemampuan dan penerima dampak sangat terbatas. Persoalan nyata yang menjadi momok disetiap pertarungan politik adalah persoalan money politik. Unsur Money Politics menjadi pembicaraan hangat dan bahkan dibeberapa tempat, permainan ini seolah sudah dihalalkan atau diwajarkan oleh karenanya malahan dinantikan sentuhannya oleh para konstituen yang dengan sengaja tidak tidur di malam menjelang hari pemilihan. Sudah menjadi trend politi, bahwa untuk bertarung dikancah perpoliitikan, persoalan ada atau tidak ada uang telah dianggap sebagai indikator penentu utama dalam pemenangan setiap kandidat.

Tulisan ini mengingatkan saya terhadap paparan Turunan Gulo,SP, MSP anggota KPU Sumatera Utara pada saat kegiatan sarasehan yang dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Nias pada tanggal 5 Oktober 2011 di Gunungsitoli, dimana dalam kegiatan tersebut, turut tampil juga sebagai nara sumber utama adalah Profesor Taliziduhu Ndraha.

Dalam paparan yang disampaikan oleh Bung Turunan terkait dengan semakin menurunnya tingkat partipasi pemilih, disampaikannya bahwa masih perlu perbaikan kinerja para pejabat dan penguatan Partai Politik. Kemudian lebih lanjut, disebutkannya bahwa pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945 termuat bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945.

Paparan tersebut telah menyontakkan saya sebagai salah satu utusan dari Forum Peduli Tano Niha (FORNIHA) yang kebetulan sebelumnya adalah merupakan koordinator pemantau pelaksanaan PEMILUKADA di 4 Daerah Kepulauan Nias, bahwa dalam konteks pertama terkait perlunya peningkatan kinerja pejabat dan penguatan Partai Politik, menurut saya hal ini bagus untuk dilaksanakan, hanya saja belum bisa menjadi solusi menyembuhkan sepenuhnya, karena sepertinya obat tersebut hanya sebatas membius sementara agar prosesnya dapat mengurangi rasa sakit. Pertanyaannya “Mungkinkah kita berharap terhadap para politisi di senayan ini untuk berkinerja lebih baik atau melaksanakan tugas mulia guna pembangunan Indonesia, dimana saat proses naiknya menjadi anggota DPR RI saja sudah menempuh segala cara untuk mengalahkan saingannya ?”. Bukan rahasia lagi bahwa, angka miliaran rupiah menjadi taruhan nilai mahalnya kursi jabatan, agar bisa duduk disenayan. Banyak diantaranya bahwam disaat tidak menjadi politisi saja, belum ada sifat atau tindakan ke-negarawan-an yang dapat dilihat dari sosok tersebut, oleh karenanya tidak heran begitu naik, para pemenang ini akan mejadi bajak laut untuk mengeruk semua kesempatan yang ada guna mencapai kenyamanan, keamanan dan kelanggengan posisi agar ditahun depan bisa tampil kembali. Hal ini disampaikan bukan bermaksud subjektif, tetapi bisa dihitung berapa orang yang sudah divonis penjara atau bersalah oleh karena KKN pada saat menjabat menjadi anggota DPR RI di senayan ? atau barangkali bisa di survei, tentang bagaimana tingkat kepercayaan publik terhadap siapa yang telah dipilihnya pada saat pemilihan legislatif, adakah relevansinya dengan kehidupan yang sedang mereka jalani saat ini ?

Terkait masukan dari Bung Turunan Gulo, perihal adanya peluang untuk orang Nias menduduki kursi DPR RI di senayan hingga sekurangnya tiga orang, adalah merupakan ide yang sangat bagus, mengingat jumlah pemilih di Kepulauan Nias sudah mencapai angka 481.168 orang pada waktu Pemilu 2009, sedangkan kursi yang tersedia ada sekitar 7 kursi , khusus untuk daerah pemilihan SUMUT II dimana jumlah rata-rata suara yang terpilih menjadi anggota DPR RI di Senayan tersebut masih berada pada kisaran angka puluhan ribu.

Dalam konteks kedua, kedaulatan ditangan rakyat tidak pernah terjadi. Kedaulatan yang sebenarnya terjadi adalah ada ditangan Partai Politik. Dalam kasus ini, sistem pemilihan yang dilaksanakan memberikan kesan bahwa kekuasaan rakyat hanya sebatas pada saat memilih atau pada saat memberikan suaranya, selanjutnya setelah pemilihan hak rakyat tersebut telah dikebiri atau di kuasai oleh Partai Politik. Rakyat sebagai pemilih atau konstituen hanya sebagai kaperlek atau kapan perlu lekas pakai setelahnya diabaikan. Mengenai hal ini, Profesor Taliziduhu Ndraha hingga mengatakan bahwa warung makan padang masih lebih menepati janji atau lebih bijaksana dari pada seorang pejabat yang telah dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan langsung di Indonesia. Pameo di warung makan padang tertulis sebagai berikut “ Kalau Anda Puas, Silahkan Beritahukan Teman dan Jika Anda Kecewa Sampaikan Kepada Kami”. Pertanyaanya, mungkinkah seorang pejabat yang dipilih oleh proses Pemilihan Umum memiliki komitmen janji seperti tersebut diatas ?, Adakah juga para pejabat tersebut, yang siap pasang badan dan menerima kritikan, jikalau masyarakat kecewa terhadapnya ?. Sementara proses tersebut terus berlangsung dan berkelanjutan, Partai Politik tidak bersikap dan bertindak NIHIL. Harapan rakyat terhadap Partai Politik yang logonya mereka pakai dan lekatkan di baju mereka melalui kaos partai politik pada saat pemilihan berlangsung, “PUPUS secara berulang-ulang alias Knock Out atau KO, terutama begitu Proses Pemilihan telah usai. Mengenai hal ini, saking fanatiknya bahkan peletakkan simbol Partai terkadang bukan hanya di kaos kampanye bisa juga dimodif dan digambar di kepala orang dan dibentuk sedemikan rupa hingga serupa seperti mahkota manusia.

Proses perubahan peta kekuasaan yang berulang-ulang terjadi, dirasakan dan diketahui namun konstituen selalu tertipu oleh karena pejabat yang terpilih hanya meninggalkan kata “sayonara” dan pejabat tersebut muncul kembali hanya pada saat Pemilihan berikutnya. Gambaran yang terjadi adalah ibarat sebuah piramida segitiga sama sisi, dimana pada saat belum terjadi pemilihan maka dipuncak teratas piramida adalah rakyat atau konstituen dan di dua sudut bagian bawahnya sebagai penopang sejajar adalah Partai Politik dan Pemerintah. Pasca pemilihan terjadi, secepat kilat, piramida berbentuk sama sisi dengan tiga sudut penting tersebut, berubah posisi menjadi terbalik dimana yang tadinya posisi rakyat di atas, kini pasca proses pemilihan, posisi Partai Politik bersama Pemerintah menempati letak tertinggi dan sebaliknya posisi rakyat atau konstituen telah terjungkalkan, yaitu terletak dibagian bawah piramida dengan tanpa daya dan tanpa mitra dengan bentuk meruncing ke bawah. Kondisi Pemerintah juga dilema oleh karena, dengan sistem tersebut, Kepala Daerah terpilih harus bermitra strategis untuk berbagi kekuasaan dengan Partai Politik. Posisi peta kekuasaan tersebut sangat permanen dan berlangsung secara berulang-ulang, hingga pemilihan berikutnya dilaksanakan yang biasanya selalu diawali dengan peninjauan kembali Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu. Satu yang pasti adalah bahwa proses lima tahunan yang telah dilaksanakan berulang-ulang tersebut selalu memberikan dampak kekecewaan dan kepesimisan rakyat terhadap dampak manfaat proses demokratisasi politik yang dianut. Dampak kekecewaan kaum rakyat ini, bisa dipastikan akan berkontribusi terhadap tingginya angka GOLPUT dan barangkali sebagai alasan bermunculannya isu tolak Pemilu atau Pilkada. Tidak tertutup kemungkinan hal ini dapat juga menjadi alasan kemunculan kaum ekstrimis yang sudah apatis terhadap terjadinya perubahan. Secara umum para ekstrimis ini sering dikelompokkan sebagai terorist atau bahkan sebagai kelompok separatis bersenjata yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Penulis menyadari bahwa theori Ilmu Pemerintahan yang disampaikan oleh Pak Profesor Ndraha belum dilaksanakan dengan baik oleh para praktisi pemerintahan atau politisi di Republik ini. Sistem yang telah dibuat pada zaman orde baru masih diterapkan hingga kini. Sistem Politik telah dirancang lebih halus, dengan catatatan tetap meng-oligarkhikan Partai Politik, Menyamankan, Mengamankan dan Melanggengkan Para Pejabat yang terpilih sebagai produk Pemilu. Sistem ini berkontribusi secara praktis terhadap proses money politik yang terjadi disetiap berlangsungnya pemilihan, sebagai bagian dari budaya menghalalkan cara, yang telah diadopsi sebagai budaya politik indonesia yakni dari penguasa, oleh penguasa dan untuk kekuasaan. Secara tidak langsung, proses yang didukung oleh perundang-undangan dan peraturan yang telah secara sistemik tersusun ini, terbukti telah mampu membuyarkan mimpi para pejuang, para aktivist dan para pegiat demokrasi, mereka para pemikir kemaslahatan bangsa dalam artian yang sebenarnya untuk dapat tembus di dalam ruang senayan guna tampil sebagai kader bangsa, sebagai pemimpin untuk mengambil keputusan penting, yang berguna untuk rakyat indonesia. Terlebih lagi bagi para kaum muda yang tergolong miskin, dan telah termarginalkan secara turun temurun, berpikir atau bermimpi saja pun mengenai jabatan tersebut pasti dilarang oleh orang tuanya karena dipercaya bahwa jabatan tersebut hanya dapat diraih melalui mukjizat.

Profesor Taliziduhu Ndraha, yang juga sebagai dosen bidang ilmu pemerintahan di IPDN telah menegaskan didalam kegiatan sarasehan yang dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Nias di wisma soliga, Gunungsitoli bahwa proses pemilihan umum seharusnya tidak berubah menjadi area Pemenangan seolah proses yang berlangsung adalah sebuah proses hukum rimba, namun sebaliknya harus menjadi area Keterpilihan. Sehingga Pejabat yang terpilih bukan sebagai pemenang, melainkan sebagai orang yang terpilih untuk menjalankan amanat rakyat.

Lantas bagaimana dengan para Pejabat terpilih di Kepulauan Nias ?, tentunya menjadi bagian di dalam sistem tersebut. Bagaimana di dalam praktisnya ? ya, disurvey saja maka mayoritas masyarakat pasti kecewa dengan yang telah dipilihnya. Namun, masyarakat mau bilang apa, wong ndak punya kekuatan, habis sepah ya dibuang. Kekuatan Partai Politik yang berjalan strategis dengan Pemerintah yang berkuasa dapat memaksakan kehendak kepada para pimpinan di suatu daerah agar menjadi pengikut Partai Politik yang berkuasa, kalau tidak ya pasti susah. Konsep Lima Satu Nias Maju seperti yang telah disampaikan Pak Profesor Ndraha, pelaksanaanya sudah pasti tidak akan terlepas dari pengaruh Partai Politik yang mencengkram kuat dari pusat. Namun konsep tersebut bisa terwujud jika para Pemimpin dan para birokrat pemerintahan yang bekerja di kepulauan Nias mempunyai rasa memiliki dan rasa tanggung jawab serta dapat tetap mengedepankan kepentingan umum “Res Publica” dibandingkan dengan kepentingan pribadi.

Sebagai sebuah pembelajaran bersama, bahwa terkait Ilmu Pemerintahan dalam perspektif kybernologi yang telah disampaikan oleh profesor Taliziduhu Ndraha, sistem perpolitikan di indonesia masih melangsungkan budaya politik pemenangan yang erat kaitannya dengan hukum rimba politik. dimana budaya pemenangan ini telah melahirkan budaya primitif baru disektor politik dan pemerintahan. Jika tidak disadari dan tidak segera dirubah maka, budaya politik primitif tersebut akan semakin menguat hingga terjadinya kanibalistik politik dimana jabatan menjadi segalanya dan segala cara menjadi HALAL untuk mencapainya, sementara itu uang atau rupiah menjadi TUHAN bagi setiap Pemilih. Menurut Penulis, sistem demokrasi yang terjadi, telah secara sistemik mengkondisikan kaum rakyat atau pemilih dihadapkan pada sebuah kondisi yang sulit, ibarat buah simalakama yang akhirnya Pemilih harus mengambilnya walaupun mengorbankan Nurani-nya. Kebutuhan Ekonomi yang sangat mendesak, para Pemilih ibarat berada di jaman kemerdekaan dengan semboyan HIDOEP jika ambil rupiahnya, atau akan beroleh MATI, jika tidak mengambil rupiah yang ditawarkan tersebut. Prinsip HIDOEP atau MATI dijaman politik yang kanibalistik ini telah sangat jelas dan praktis adalah mengeksploitasi kemeralatan atau kemiskinan rakyat yang terjadi.

Meningkatkan partisipasi pemilih di dalam proses pemilihan yang berlangsung menjadi harapan yang kosong semata, selama sistem perundang-undangan tidak secara tegas mendukung hal tersebut, yang seharusnya memakai kata HARUS bagi Partai Politik untuk melaksanakan Pendidikan Politik dan seharusnya perundang-undangan yang dibuat juga dapat memfasilitasi keadilan bargaining position untuk konstituen agar dapat menuntut KATA DAN LAKU sebagaimana yang telah dijanjikan oleh elit politik yang telah terpilih, karena para Pemilih telah mempercayakan suara mereka kepada Pejabat tersebut. Lebih parahnya, saat ini terdapat kecurigaan bahwa jangan-jangan semua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Penyelenggara KPU dan Semua sistem yang sedang berlangsung dalam proses pemilihan adalah sudah secara sistemik disusun sedemikan rupa agar tetap menyamankan, mengamankan dan melanggengkan para Pejabat yang terpilih untuk dapat secara permanen duduk dikekuasaan hingga akhir hayatnya. Jikalau demikian, bukankah kegiatan peningkatan partisipasi pemilih menjadi kegiatan pragmatis belaka, ketika akar persoalan sebenarnya tidak terobati ????. Namun dibalik itu semua, Penulis mengapresiasi kegiatan tersebut, karena setidaknya, isu peningkatan partisipasi pemilih oleh KPU Kabupaten Nias tersebut, telah mengingatkan Kita untuk segera sadar dan bangkit agar tidak dininabobokan oleh sistem yang telah dibuat. Penulis menyadari, bahwa masih banyak persoalan mendasar yang belum teratasi dan belum terobati secara TUNTAS di dalam sistem demokrasi di Indonesia yang seolah-olah sudah substansial namun sebenarnya hanya sebatas prosedural semata.

Penulis,
Yanuarman Gulo
(Staf Program Forum Peduli Tano Niha-FORNIHA)
Gunungsitoli, 5 Oktober 2011.

RPJMD Nias Mulai Dibahas

PEMBAHASAN RANCANGAN AWAL PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN NIAS 2011-2016

“ Kebulatan Tekad Pimpinan Daerah untuk Memberhasilkan Pembangunan dengan Visi Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Nias yang Berkeadilan, Berkesejahteraan, Mandiri yang Dilayani oleh Pemerintah Yang Bersih dan Responsif “

Kegiatan pembahasan Rancangan Awal Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Nias yang dilaksanakan pada Tanggal 3 Oktober 2011 di gedung bundar Kantor Bupati Nias, berlangsung dengan sukses. Kegiatan RPJMD tersebut dihadiri langsung oleh Bupati Nias Drs.Sokhiatulo Laoli dan Wakil Bupati Nias Arosokhi Waruwu, puluhan orang staf pemerintahan serta dari unsur DPRD Kabupaten Nias.

Forum Peduli Tano Niha (FORNIHA), sebagai forum NGO lokal beranggotakan 11 Lembaga Anggota untuk Kepulauan Nias, merupakan satu-satunya perwakilan LSM yang diundang di dalam kegiatan tersebut, selebihnya adalah mewakili Media Pers.

Dalam penjabaran visi dan misi yang disampaikan oleh Bupati/ Wakil Bupati Nias, peserta yang mayoritas berasal dari Pimpinan-Pimpinan SKPD, dan Pimpinan Pemerintahan di tingkat Kecamatan se Kabupaten Nias, sebelumnya telah dibekali dengan diktat tebal 229 halaman yang berisi konsep perencanaan awal pembangunan daerah Kabupaten Nias 2011-2016.

Dalam pengamatan Forniha, yang diwakili oleh One Men Halawa dan Yanuarman Gulo, kegiatan yang telah dilaksanakan sangat positif dan menjunjung tinggi tranparansi publik. Sesuai dengan temanya sebagai forum konsultasi publik, Forniha turut memberikan tanggapan dan apresiasinya terhadap kegiatan melalui sesion diskusi yang telah dilaksanakan.

Salah satu inti point yang disampaikan dan dituliskan kembali melalui tulisan ini adalah bahwa pimpinan daerah Kabupaten Nias memiliki tekad yang sangat kuat dalam memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme terutama ditubuh birokrasi pemerintahan Kabupaten Nias. Pimpinan Daerah berkomitmen, bahwa tidak ada para pejabat saat ini, baik yang menjabat sebagai asisten maupun sebagai pimpinan SKPD adalah merupakan hasil KKN. Pimpinan Daerah memberikan jaminan, bahwa jikalau ada yang memakelarkan atau jikalau ada yang mengambil untung rupiah di setiap posisi atau jabatan yang ada, dipersilahkan dilaporkan langsung kepadanya.

Guna mempertajam diskusi yang berlangsung, Forniha melalui Yanuarman Gulo memberikan 4 Point tanggapannya meliputi sebagai berikut :
1. Indikator keseluruhan dari semua rancangan awal program yang telah dibuat yang juga disertai dengan jumlah perkiraan biaya, alangkah baiknya jikalau ada suatu indikator makro bahwa persentase anggaran yang menyentuh rakyat secara langsung dapat lebih besar dari pada anggaran untuk peningkatan kapasitas atau biaya manajemen di tubuh Pemerintahan Daerah Kabupaten Nias. Hal ini perlu disampaikan karena mengantisipasi pameo yang muncul terhadap persoalan penganggaran yakni “ yang mengurus lebih gemuk dibandingkan dengan yang diurus”. Khususnya mengenai indikator capaian disetiap program yang telah dirancangkan akan lebih baik lagi jikalau alat ukur indikator kuantitatif dan indikator kualitatif yang dapat dicapai dan dipertanggungjawabkan.dapat lebih dipertegas. Mengingat Kabupaten Nias adalah merupakan Kabupaten Induk maka para pegawai tentunya lebih memiliki kapasitas dibandingkan dengan Kabupaten/ Kota lainnya, sehingga kinerja dapat lebih didaratkan pada action dan bukan terhadap muatan penguatan kapasitas.

2. Melalui penjabaran Visi dan Misi yang telah dijabarkan oleh Pimpinan Daerah Kabupaten Nias yang dibantu oleh Kepala Bappeda Kabupaten Nias, Ir.Agustinus Zega, tercatatkan bahwa salah satu misi dalam perencanaan pembangunan daerah adalah pelaksanaan Good Governance. Terhadap hal ini, Forniha menyambut positif. Namun mengenai isu Good Governance adalah isu lama dan Good Governance atau pemerintahan yang bersih adalah suatu PRINSIP yang sifatnya harus dilaksanakan bukan lagi AKAN dikerjakan. Melalui paparannya, Peserta diskusi dari Forniha menyampaikan lebih lanjut bahwa komitmen untuk pelaksanaan Reward and Punishment alangkah baiknya jikalau pelaksanaanya bukan dimulai pada Tahun 2013 namun harus dimulai semenjak dari sekarang.

3. Terhadap penggalangan investor yang ditekadkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Nias, bahwa mengenai pengadaan investasi adalah hal yang positif. Namun mengenai hal ini Forniha memberikan masukan agar investasi yang diselenggarakan memiliki konsep dan design yang matang dan tidak mengabaikan warga setempat atau warga disekitarnya oleh karena kedamaian tidak akan didapatkan oleh semua pihak jikalau mengabaikan hal tersebut, Kita belajar dari apa yang telah terjadi di daerah Aceh dan Papua.

4. Terkait Rencana Awal Pembangunan Jangka Menenengah Daerah Kabupaten Nias 2011-2016, alangkah baiknya jikalau pelaksanaanya dapat bekerjasama juga dengan LSM atau NGO sehingga kegiatan pembangunan dapat dilaksanakan dengan cara bahu membahu melibatkan swasta atau Non Pemerintahan.

Dalam proses diskusi yang langsung di pandu dan dijawab atau ditanggapi oleh Bupati Nias tersebut, berlangsung dengan penuh hikmat dan sangat demokratis.

Terdapat satu hal lainnya yang masih tertinggal untuk disampaikan dan kiranya dapat menjadi perhatian bersama terkait pelaksanaan pengurangan resiko bencana di Kabupaten Nias adalah pentingnya pencarian solusi bersama terhadap penanggulangan kerentanan terhadap daerah aliran sungai yang semakin menyempit dan mengalami pendangkalan di daerah Kecamatan Idanogawo-Gido sehingga sering mengakibatkan banjir di kawasan tersebut dan berdampak langsung terhadap perekonomian masyarakat. Contoh daerah yang sering menjadi langganan banjir adalah daerah Desa Somi, Kecamatan Gido, yang dihuni oleh ribuan orang penduduk. Guna mengatasi hal ini, sangat perlu pengintegrasian Pengurangan Resiko Bencana Daerah, yang dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik oleh pihak swasta atau NGO maupun oleh Pemerintahan Daerah melalui Konsep Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Nias terintegrasi. (yg/forniha).

Sabtu, 05 Februari 2011

KLINIK FOTOGRAFI

FOTO JURNALISTIK MEMOTRET DAN MENGKLARIFIKASI

FOTO-FOTO: YANUARMAN GULO
TIPS & CATATAN
(Dimuat di Kompas Halaman 36 Pada Hari Selasa, 1 Februari 2011. Thanks To Arbain Rambey/Penulis/Fotografer Ternama Indonesia)














Foto Jurnalistik Memotret dan Mengklarifikasi


ARBAIN RAMBEY
Pertanyaan yang selalu muncul dalam dunia jurnalistik: ”menolong dulu atau memotret dulu”? Juga: ”etiskah memberitakan penderitaan orang lain”? Kedua pertanyaan itu sangat tepat untuk menjadi ilustrasi dasar rangkaian foto karya Yanuarman Gulo yang direkam pada 15 Januari 2011 di halaman RSUD Gunungsitoli, Nias, di halaman ini.

Foto-foto itu adalah hasil workshop foto jurnalistik yang diadakan Posko Delasiga bersama Gambara Nias Bangkit bagi wartawan lokal Nias awal Januari lalu.
Rangkaian foto-foto itu sungguh pahit. Tergambar jelas bagaimana seorang penderita rabies merangkak, berusaha masuk ke RSUD Gunungsitoli, tak berdaya, dan akhirnya meninggal dunia dengan cara tragis.

Sekilas, foto-foto itu ”menuduh” RSUD Gunungsitoli yang seakan acuh tak acuh terhadap nasib seorang penderita rabies. Dalam beberapa gambar terlihat ketidakpedulian beberapa orang yang berseragam perawat.

Namun, jurnalistik adalah dunia seimbang. Dia tidak boleh larut semata pada apa yang dilihat. Dunia jurnalistik adalah dunia yang adil dan tidak memihak mana pun.

Maka, untuk mengantar foto-foto tersebut, tentu perlu diminta komentar dari pihak RSUD Gunungsitoli. Hasil paparan Dr Kanserina Dachi, SpPD sungguh mengejutkan.

Menurut Kanserina, pria (yang kami simpan identitasnya) itu adalah pasien rabies RSUD Gunungsitoli yang cukup sulit untuk ditangani. ”Dia beberapa kali meronta-ronta dan menolak diinfus. Kemudian dia juga melarikan diri dari rumah sakit. Saat akan kembali lagi, itulah yang terekam dalam foto,” kata Kanserina.

Kanserina juga memaparkan cukup tingginya kejadian penyakit rabies di Nias.
Namun, paparan Dr Ria Novida Telaumbanua, MKes makin menunjukkan bahwa ada hal lebih serius untuk dicermati bersama. Menurut Ria, harga serum rabies untuk satu orang, dalam beberapa kali penyuntikan, sekitar Rp 1,5 juta. ”Dan saat ini serum rabies cukup langka di Nias ini,” katanya.

Rangkaian foto di halaman ini, ditambah paparan kedua dokter, mengingatkan kita bahwa perlu ada penanganan lebih jauh untuk mengatasi masalah rabies, tidak cuma di Nias, bahkan mungkin di berbagai pelosok Indonesia.

Posko Delasiga memang sudah menyumbangkan beberapa kardus serum rabies pada akhir Januari lalu. Namun, perhatian lebih dari pemerintah memang sangat diperlukan.
Kembali ke alinea pertama tulisan ini, sang fotografer memang tidak bisa menolong sang korban rabbies karena memang dia tak punya kemampuan untuk itu. Sang fotografer justru menolong masyarakat luas untuk kepedulian pada penyakit rabbies.

Lalu, apakah etis memotret penderiteraan orang ? Demi hal yang lebih baik bagi banyak orang, jawabannya adalah iya. Potret bencana alam atau pun kerusuhan adalah penderitaan juga. Kalau tak ada yang memotretnya, ia akan terkubur tanpa sejarah!

Copyright © 2011 Kompas Digital